• Kami kembali, dengan kegiatan-kegiatan baru. Tunggu kabarnya segera. We are back. Stay tuned!

0

Products to support women empowerment

Forrest Club is now supporting Yayasan Jurnal Perempuan for empowering women, by helping to sell the products, which you can buy directly at our shop in Renon. Or, drop us an e-mail if you want to pre-order.

Barang-barang ini bisa dibeli/dipesan di forrest club

Barang-barang ini bisa dibeli/dipesan di forrest club

Posted in action, book club, News, products | Tagged: | No Comments
0

Book Launching: “Gay Archipelago: Seksualitas dan Bangsa di Indonesia”, 10 August’09

gay-archipelago-tom-boellstroffBERITA PERS

Oleh: PW Rudolf

Selasa, 11 Agustus 2009

Buku ini bukan novel atau cerita perjalanan ataupun ekspose kehidupan malam gila orang elit. Jangan berharap untuk membaca cerita erotis di tempat-tempat pijat, spa dan sebagainya dari buku Tom Boellstroff yang berjudul Gay Archipelago: Seksualitas dan Bangsa di Indonesia yang Senin, 10 Agustus 2009 kemarin baru saja diluncurkan dalam versi terjemahan bahasa Indonesia di forrestClub, Renon (Denpasar) sebagai rangkaian acara Q Film Festival yang berlangsung dari tanggal 7 – 13 Agustus 2009. Dalam acara ini sang penulis sendiri hadir sebagai pembicara ditemani pembicara tamu ternama, Dédé Oetomo dari Gaya Nusantara dan dimoderasi Dimas Hary dari Q Film Festival. Versi asli buku ini (bahasa Inggris) telah empat tahun yang silam diterbitkan secara umum.

Buku Tom bisa dibaca tidak hanya oleh para antropolog namun juga masyarakat awam yang ingin mengetahui tentang studi antropologis tentang kebudayaan dan kehidupan sehari-hari orang gay Indonesia. Tom Boellstorff adalah Profesor bidang Antropologi dari University of California (Irvine) dan Editor-in-Chief Jurnal Antropologi Amerika. Sang penulis asal Amerika ini dibesarkan di Nebraska, sebuah negara bagian di Amerika Serikat dimana disana jarang, ungkap Tom, bisa mendapatkan kesempatan menemukan cara hidup lain.

Buku ini tidak ditulis begitu saja, namun melalui sebuah penelitian yang ekstensif selama bertahun-tahun, pada tahun 1995, 1997-1998, 2000 dan sesudahnya. Tom pertama kali datang ke Indonesia pada tahun 1992 dan bekerja-sama dengan beberapa kelompok/yayasan sebagai pelatih petugas outreach di bidang HIV/AIDS. Penelitian Tom merupakan penelitian etnografik yang dilakukan di Surabaya, Makassar, Bali dan beberapa kota lainnya di Indonesia yang berdasarkan “participant observation” (ikut serta dalam kegiatan sehari-hari dan mengamati kegiatan tersebut) ditambah dengan wawancara, penelitian sejarah, kelompok diskusi dan sebagainya. Hasil penelitian ini dibuatkan beberapa makalah dan dua buku, yakni The Gay Archipelago: Sexuality and Nation in Indonesia (2005) dan A Coincidence of Desires: Anthropology, Queer Studies, Indonesia (2007, yang belum diterjemahkan) yang diterbitkan Duke University Press.

Harapan Tom adalah agar terjemahan ini mendukung topik LGBT makin lama makin dianggap hal wajar untuk dibahas dan dijadikan topik penelitian dan semoga terjemahan ini menarik dan berguna pada sekian orang non-antropolog.

Tentang Q Film Festival

Q Film Festival telah diadakan sejak tahun 2002 dan merupakan acara pertama di Indonesia yang mendukung interaksi, mengedukasi masyarakat dan mainstream tentang isu-isu seputar homoseksualitas melalui bahasa visual dan sarana mainstream lainnya. Tujuan daripada festival ini adalah untuk membangun kekuatan politik yang lebih bersatu untuk mengadvokasi toleransi terhadap keragaman seksual. Festival ini sendiri berupaya untuk membuat perubahan melalui sebuah pendekatan budaya yang baru.

Setelah berkembang selama lebih dari enam tahun, QFF sekarang berkembang ke lima wilayah berbeda yakni Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan Bali, dan telah menjadi festival film tersukses di jenisnya di Asia. Salah satu titik tolak paling fundamental adalah ketika penghargaan dari Film Festival Berlin, Teddy Awards, diberikan kepada QFF, dan mereka setuju mengafiliasikan QFF pada tahun 2006. Sekarang, Q Film Festival sah menjadi program “Teddy Award on Tour” dan juga diakui menjadi salah satu sirkuit festival film internasional.
Untuk informasi lebih lanjut silahkan klik:
http://qfilmfestival.org

Tentang forrestClub

forrestClub adalah klub baru di pusat kota Denpasar, Renon, yang ditujukan bagi warga yang berbudaya, untuk ‘deep-hanging out’ (bersantai memikirkan hal-hal berat) dan ‘light hanging-out’ (bersenang-senang saja seperti: main musik, nonton film bareng dan sebagainya) dengan fasilitas pendukung, wi-fi gratis dan perpustakaan kecil. Disini beberapa komunitas sering berkumpul, terutama komunitas musik, sastra dan film.
Untuk informasi lebih lanjut silahkan klik:
http://forrestclub.krishnalila.org

Posted in book club | Tagged: , | No Comments
0

Lesbian Sexuality: an Article Discussion ; 17 May’09

jp-guntur

Pembicara: Roro Sawita

Hari: Minggu, 17 Mei 2009

Jam: 17.00 – selesai

Posted in book club | Tagged: | No Comments
2

Debut Klub Buku: Tin Tin, 15 Mei’09

Setelah cukup lama tertunda akhirnya perkenalan perdana klub buku di Forrest Club at Suicide Glam Clubhouse, Renon, Denpasar; jadi juga dilaksanakan. Topik pertama yang kami ambil adalah Tin Tin, seorang sosok aseksual bahkan sebelum Morrissey muncul! Berjambul & pompadour jauh mendahului Slim Jim Phantom!* – RD

Salam membaca,

Rudolf Dethu, Ridwan Rudianto & PW Rudolf

————————————————————————————————–

Diskusi kecil tapi hangat di sore hari Jumat tanggal 15 Mei 2009 itu dsc05702membawa ‘tintinologist’ : Ridwan Rudianto & Rudolf Dethu, dengan dimoderasi saya sendiri, PW Rudolf. Ternyata keluarga besar Alliance Francaise (Institusi Kebudayaan Perancis)-lah yang menjadi rombongan terbesar dan salah satu dari yang paling antusias menanggapi diskusi Tin Tin ini.

Beberapa ada yang bertanya pada saat publikasi Tin Tin sejak sebulan lalu (entah maksudnya ingin bertanya atau sinisme) akan kenapa Tin Tin yang menjadi bahan diskusi. Katanya, “Is that all in your mind?” atau ada lagi, “I love people who are intelligent who read but…. Tin Tin??” Well, disitu saya lihat saja bahwa kemampuan analisa, pun kemauan untuk itu masih rendah. Komik ya komik… lagi-lagi stereotype… Pernahkah terbersit kalau komik adalah salah satu sarana penyampaian sesuatu yang berat dengan sangat ringan. Dan Tin Tin ini menuai begitu banyak diskusi dan memancing perbincangan politik di dunia, sampai-sampai dibuatkan Konferensi Dunia Tin Tin. New York Times membahas permasalahan rasisme Tin Tin di Kongo yang dimuat dalam Jurnal Kinshasha. Edisi Tin Tin di Kongo ini menuai berbagai komentar dan kritik pedas sampai-sampai di beberapa negara dibredel. Di Amerika Serikat sempat dilarang beredar, begitu juga keluarnya perintah untuk dilarang beredar oleh CRE (Commission of Racial Equality) yang mengganggap Tin Tin rasis. Tin Tin di Sovyet ( – ejaan Indonesia di Tin Tin keluaran baru) pun membuat Herge (sang pencipta Tin Tin) disinyalir anti-komunis.  Di koran Times Online juga ada disebutkan dan mempertanyakan kalau Herge adalah seorang anti-imperialis karena Tin Tin and the Blue Lotus.

Di Iran, Tin Tin dibredel dan kemudian dipublikasikan kembali dalam edisi yang ‘di-Islamkan, salah satunya dengan menghilangkan banyak scene Kapten Haddock, karena perilakunya yang suka minum-minuman keras dan memeluk lawan jenis yang bukan istrinya. Kalaupun Kapten Haddock ada, minuman-minuman kerasnya diganti menjadi non-alkohol, menjadi lime-juice?

castahaddockcastahaddock-persian

Dari sudut pandang seksualitas, banyak yang menduga Tin Tin itu homoseksual, konon kabarnya adalah pujaan kaum homoseksual dunia, ada juga yang menduga dia aseksual. Dugaan homoseksual ini timbul salah satu karena Tin Tin tidak pernah bersama perempuan manapun, tidak juga Bianca Fiore, tidak pernah menangis dan emosional, kecuali pada saat kawannya (laki-laki) meninggal pada waktu edisi Tin Tin di Tibet. Dan juga melihat gaya dandan metroseksualnya dengan rambut jambul dan pakaian yang selalu modis.

dsc05709Ridwan mengangkat teknik penggambaran dan pewarnaan, yang menurut pengamatannya tidak menggunakan arsiran dan menurut hematnya mewarnai menggunakan cat air ketimbang bahan-bahan lain.  Memang, Herge menggunakan warna-warna berani yang ‘catchy’ dalam penyajian Tin Tin kecuali pada Tin Tin di Uni Sovyet yang satu-satunya masih keluar hitam-putih. Katanya sih, belum selesai.

Dethu juga mengungkapkan pengalaman pribadinya terpaut hobinya membaca Tin Tin. Waktu keliling dunialah dan terdampar di Amerikadsc05708 Selatan, ia sadar dengan keberadaan Picaros (Tin Tin in Picaros). Ditanyai salah satu peserta apa inspirasi Tin Tin baginya, Dethu bilang kalau dulu, waktu membaca Tin Tin membuatnya ingin menjelajahi tempat-tempat yang Tin Tin kunjungi (travel-motive).

Penerjemahan Tin Tin ke dalam bahasa Indonesia untuk edisi baru dianggap kurang bagus ketimbang terjemahan edisi lama (waktu bentuk komik Tin Tin masih buku tipis dan lebar) oleh Ibu Indira yang mendapat acungan jempol karena makian-makian Kapten Haddock terutama sangat sulit dicarikan padanan katanya tanpa perlu menuliskan kata-kata kasar yang tidak patut dibaca. Edisi baru terbitan Gramedia mendapatkan kecaman, yang menyambung kepada buku-buku terjemahan terbitan Gramedia, yang kerapkali tidak mendapatkan ‘soul’ buku yang diterjemahkan, kesannya asal menerjemahkan. Asumsinya adalah fee penerjemah yang rendah yang akhirnya mengusir minat para penerjemah profesional, dan menggantinya dengan penerjemah yang tidak fasih berbahasa Inggris sehingga menghasilkan penerjemahan yang tidak berkualitas. Ini cukup fatal akibatnya: sebuah penyimpangan pengetahuan.

Akhirnya, diskusi Tin Tin ini bisa memperlihatkan kalau Tin Tin bukan sekedar komik biasa. Tanpa fasilitas internet dan tanpa bepergian, dengan saktinya Herge bisa menuliskan dan mendisripsikan kehidupan sebuah negara yang tidak pernah dikunjunginya dengan detil. Pelajaran tentang peradaban umat manusia pada saat dan paska Perang Dunia ke-II bisa dipelajari dari membacan Tin Tin dengan seksama dan analisa yang mendalam. Saya pribadi, sangat tertarik dengan sisi politik yang dibawakan Herge ke pembaca.

Pertanyaannya, apakah Herge seorang yang apolitis atau memegang idealisme sayap kanan, Tin Tin adalah tokoh problematik masih diperdebatkan sampai sekarang.

oleh: PW Rudolf

——————————————————————————————-

Annex: oleh Rudolf Dethu

Siapa Tintin? Apa itu Petualangan Tintin?
TintinDiAmerika.jpgTintinDanPicaros.jpgTintinDiTibet.jpgKepitingBercapitEmas.jpg
Petualangan Tintin (judul dalam bahasa Perancis: Les Aventures de Tintin et Milou) adalah serial komik yang diciptakan oleh Hergé seorang artis dari Belgia. Hergé sendiri adalah pseudonim dari Georges Remi (1907 – 1983) yang dituliskan menjadi RG (dibaca sebagai Hergé dalam bahasa Perancis). Serial ini pertama kali muncul dalam Bahasa Perancis sebagai lampiran bagian anak-anak dari koran Belgia, Le Vingtième Siècle pada tanggal 10 Januari 1929. Petualangan Tintin sendiri menampilkan beberapa pemain yang saling melengkapi satu sama lainnya. Dari tahun ke tahun, serial ini menjadi bacaan favorit dan bahan kritikan dari para kritikus selama lebih dari 70 tahun.

Tokoh utama dari serial ini adalah seorang wartawan Belgia muda dan pengembara bernama Tintin. Sejak kemunculannya pertama kali, ia telah ditemani oleh seekor anjing jenis fox terrier yang bernama Milo (versi pertama di Indonesia, sedangkan versi keduanya oleh penerbit Indira diganti namanya menjadi Snowy). Milo di edisi Perancisnya adalah Milou. Dalam kisah selanjutnya dimunculkan beberapa pemain tambahan seperti Kapten Haddock, yang terkenal dengan sumpah serapahnya, namun dia sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kepelautan dan asas kesetaraan. Kemudian ada juga Profesor Lakmus—versi pertama di Indonesia, sedangkan versi keduanya oleh penerbit Indira dirubah namanya menjadi Profesor Calculus—yang sangat cerdas namun memiliki masalah dengan pendengarannya. Dalam edisi Perancis namanya adalah Professeur Tournesol. Dan tak lupa karakter Dupont dan Dupond (Thomson dan Thompson dalam bahasa Inggris serta versi penerbit Indira), detektif kembar yang sangat tidak kompeten.

Dengan keberhasilan serial ini, komik tersebut dikumpulkan menjadi suatu album petualangan (23 secara keseluruhan dan ditambah satu album yang masih berupa sketsa, Tintin dan Alph-Art), yang berhasil dan telah diadaptasi ke dalam bentuk film dan teater. Komik ini adalah salah satu komik Eropa yang sangat terkenal pada abad ke-20. Sudah lebih dari 200 juta bukunya diterbitkan dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 50 bahasa.

Serial komik ini sangat digemari karena gaya gambarnya yang bersih tetapi ekspresif (gaya Hergé yang disebut ligne claire) dan didasarkan pada riset yang mendalam oleh pengarangnya, yang terbagi atas aliran: petualangan dengan elemen fantasi, misteri, politik dan sains fiksi. Kisah Tintin juga selalu menampilkan humor slapstick yang mengomentari tentang politik/budaya pada suatu negara atau suatu masa.

Beberapa karakter penunjang di Petualangan Tintin
KaptenHaddock.gifKapten Haddock
Kapten Archibald Haddock atau yang lebih dikenal sebagai Kapten Haddock dalam serial Tintin berbahasa Indonesia, adalah seorang pelaut kawakan yang memiliki garis keturunan tidak begitu jelas (Ia bisa memiliki darah orang Inggris, Perancis ataupun Belgia), adalah teman baik dari Tintin, dan karakter ini baru diperkenalkan dalam episode Kepiting Bercapit Emas. Pada awalnya ia memiliki jiwa yang sangat lemah dan memiliki ketergantungan yang teramat tinggi akan minuman keras beralkohol, namun lambat laun dia menjadi pribadi yang cukup disegani. Perubahan yang terjadi pada dirinya menjadi seorang yang berjiwa pahlawan dan setia kawan, dipicu oleh penemuannya atas harta karun dari leluhurnya, Sir Francis Haddock (François de Hadoque dalam bahasa Perancis) yang bisa dibaca dalam episode Harta Karun Rackham Merah. Rasa kemanusiaan si Kapten dan kata-katanya yang cenderung kasar merupakan pelengkap dari karakter Tintin yang terlalu sempurna untuk seorang manusia biasa, dimana si Kapten lebih terasa “manusiawi” dibandingkan Tintin. Kapten Haddock tinggal di suatu rumah yang sangat besar dan indah yang dikenal dengan nama “Marlinspike Hall” (“Moulinsart” dalam bahasa Perancisnya).

Kapten Haddock mempergunakan berbagai bentuk rangkaian kata-kata umpatan untuk menyampaikan perasaannya yang sedang gundah ataupun marah, seperti “Kepiting Busuk!” (dalam bahasa Inggris: “Billions of bilious blue blistering barnacles!”), “Sejuta Topan Badai!” (dalam bahasa Inggris: “Ten thousand thundering typhoons”), “Buaya Darat!” (“troglodytes”), “bashi-bazouk”, “kleptomaniak”, “Cacing Kremi!” (“ectoplasm”), “sea gherkin”, “anacoluthon”, dan “Cacar Air!” (“pockmark”). Tidak semua ungkapan tersebut dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, dikarenakan perlu dicari padanan kata yang dapat mewakili ungkapan yang sama namun dengan tidak membuatnya menjadi kata makian yang kasar. Dalam artian ungkapan tersebut masih harus memiliki unsur artistik sehingga menjadikan tantangan tersendiri untuk menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kapten Haddock adalah golongan peminum berat, dimana seringkali dia amat menyukai minuman keras beralkohol dengan merek Loch Lomond whisky, dan kondisinya ketika mabuk seringkali dijadikan sebagai bumbu pelengkap dari serial ini.
CuthbertCalculus.gif Profesor Lakmus/Profesor Calculus
Professeur Tryphon Tournesol dalam bahasa Perancis, adalah seorang absent-minded dan ahli fisika yang memiliki kekurangan pada pendengarannya, adalah karakter minor namun hampir selalu muncul bersama dengan Tintin, Milo/Snowy dan Kapten Haddock. Dia pertama kali diperkenalkan pada seri Harta Karun Rackham Merah, dan karakternya sebagian didasarkan pada seseorang dengan nama Auguste Piccard, dimana keberadaannya kurang disukai oleh para karakter utama, namun karena keluruhan budi dan penguasaannya atas ilmu dan teknologi menciptakan hubungan yang langgeng dengan mereka. Dalam edisi Bahasa Indonesia terbitan penerbit Indira, tokoh ini diberi nama Profesor Cuthbert Calculus. Nama Profesor Lakmus baru dilekatkan padanya pada penerbitan ulang serial ini oleh penerbit Gramedia.
Thompson&Thomson.png Dupont & Dupond/Thompson & Thomson
Dupont et Dupond dalam bahasa Perancis, adalah dua orang detektif kembar yang seringkali berbicara tidak jelas satu sama lainnya, yang sebenarnya tidak memiliki hubungan kekerabatan[20], namun seringkali kelihatan seperti orang kembar dimana perbedaan antara keduanya hanya terletak pada kumisnya. Dalam edisi terbitan Indira nama mereka ialah Thomson dan Thompson. Mereka menghasilkan suatu “comic relief” sepanjang serial ini dan memiliki kebiasaan “spoonerism” dan secara keseluruhan menunjukkan ketidakmampuan mereka sebagai detektif. Karakter mereka didasarkan pada karakter dari ayah dan paman dari Hergé, dua kembar identik yang suka memakai topi bundar yang dikenal dengan sebutan “bowlers”.
BiancaCastafiore.gif Bianca Castafiore
Dia adalah seorang penyanyi opera yang selalu dipandang rendah oleh Kapten Haddock. Walaupun begitu, dia hampir selalu muncul kemanapun para karakter utama pergi, dimana dia selalu ditemani oleh pembantunya yang setia Irma, seorang pianis, Igor Wagner. Pada dasarnya arti daripada namanya adalah “bunga putih yang suci, murni”, sebagaimana yang dipahami oleh Profesor Lakmus/Calculous ketika dia memberikan mawar putih kepadanya sebagai tanda ungkapan cinta rahasianya pada sang penyanyi dalam episode Permata Castafiore (dalam versi penerbit Indira, Zamrud Castafiore). Karakternya didasarkan pada diva dari pertunjukan opera secara umum (berdasarkan pada catatan Hergé), Bibi Hergé Ninie, dan juga post-war komik Maria Callas.

Bersulang,

RUDOLF DETHU

www.suicideglam.net

PS: Sejujurnya—dan tanpa bermaksud merendah, Ridwan beserta saya mungkin belum bisa dikategorikan sebagai total aficionados, obsesif berat terhadap Tintin. Kami hanya sangat menyukai Tintin dan telah membaca hampir semua serialnya. Kami memberanikan diri berinisiatif ngomongin Tintin dengan maksud untuk mengumpulkan para pemerhati Tintin. Mari kita berbagi. Mari bikin koalisi besar yang solid (I’m not talkin’ to ya, Jusuf Kalla!).

Posted in book club | Tagged: , | 2 Comments
1

Making Scenes: Reggae, Punk, and Death Metal in 1990s Bali

AVAILABLE FOR SALE. E-MAIL US HOW TO GET THE BOOK & EMMA BAULCH’S SIGNATURE.

emma1

ISBN: 0822341158
DUKE UNIV PRESS
2007 – Paperback – 226 Seiten

Reggae, Punk, and Death Metal in 1990s Bali.

248 pages (December 2007)
12 illustrations

In 1996, Emma Baulch went to live in Bali to do research on youth culture. Her chats with young people led her to an enormously popular regular outdoor show dominated by local reggae, punk, and death metal bands. In this rich ethnography, she takes readers inside each scene: hanging out in the death metal scene among unemployed university graduates clad in black T-shirts and ragged jeans; in the punk scene among young men sporting mohawks, leather jackets, and hefty jackboots; and among the remnants of the local reggae scene in Kuta Beach, the island’s most renowned tourist area. Baulch tracks how each music scene arrived and grew in Bali, looking at such influences as the global extreme metal underground, MTV Asia, and the internationalization of Indonesia’s music industry.

Making Scenes is an exploration of the subtle politics of identity that took place within and among these scenes throughout the course of the 1990s. Participants in the different scenes often explained their interest in death metal, punk, or reggae in relation to broader ideas about what it meant to be Balinese, which reflected views about Bali’s tourism industry and the cultural dominance of Jakarta, Indonesia’s capital and largest city. Through dance, dress, claims to public spaces, and onstage performances, participants and enthusiasts reworked “Balinese-ness” by synthesizing global media, ideas of national belonging, and local identity politics. Making Scenes chronicles the creation of subcultures at a historical moment when media globalization and the gradual demise of the authoritarian Suharto regime coincided with revitalized, essentialist formulations of the Balinese self.

Making Scenes is as good a balance of theoretical innovation, ethnographic observation, and musical ‘scene’ analysis as I have seen in a long time. It is also the best account I have seen of the international circulation of 1990s alternative U.S. rock outside the United States.” —Will Straw, author of Cyanide and Sin: Visualizing Crime in 50s America
“Timely and engaging, Making Scenes is a wonderful and needed contribution to scholarship on Bali, to debates over the relationship between Birmingham School cultural studies and the work of area studies, and to the transnational study of popular music.” — Laurie J. Sears, editor of Knowing Southeast Asian Subjects

Emma Baulch is a Senior Research Associate in the Creative Industries Faculty at the Queensland University of Technology in Brisbane, Australia.

For more information, please visit the publisher’s webpage.

——————————————————————————————-

Ulasan buku dari Kompas 5 Juli 2009 oleh Degung Santikarma

Meng-etnografi-kan Bali Lewat Superman Is Dead

Minggu, 5 Juli 2009 | 03:26 WIB

DEGUNG SANTIKARMA

Gambaran antropologis ”tradisional” tentang Bali berawal dari kehidupan masyarakat desa, dengan ritme kehidupan petani, sawah, penggembala, subak, dan ritus keagamaan. Bali dilukiskan sebagai masyarakat yang homogen, asli, unik, alamiah, dan tak terjamah oleh pengaruh luar.

Karena kebijakan ”politik etis” Belanda, Bali dikarantina sebagai ”kawasan khusus” yang perlu dilindungi dari pengaruh luar, umpamanya pengaruh dari agama besar dunia, Islam dan Kristen. Menurut mereka, Bali dianggap satu-satunya Pulau Hindu yang masih eksis, tak berubah, sebagai bukti peninggalan peradaban besar Nusantara setelah Jawa mengalami arus gencar islamisasi. Lalu rezim pascakolonial menjual Bali sebagai daerah tujuan wisata, citra ketakberubahan Bali dilestarikan dan dilanjutkan sampai sekarang dengan bungkusan baru disebut ”Ajeg Bali”. Genealogi ”Ajeg Bali” menunjukkan suatu ”bukti diri” bagaimana disiplin antropologi, bikinan kaum penjajah tanpa diperiksa, diteruskan begitu saja oleh rezim pascakolonial.

Pergeseran pendekatan

Antropolog mulai melakukan otokritik terhadap pendekatan yang terbuai akan eksotisme dan orientalisme dari para pendahulu mereka. Terjadi perubahan orientasi antropologi di negeri Barat, yang berdampak juga kepada kajian antropologi tentang Bali. Wilayah penelitian pun berbeda, yang dulunya berorientasi ”pusat” bergeser ke wilayah ”pinggir”, seperti masalah kemiskinan, ketidakadilan dan persoalan HAM, jender, kajian kaum gay, dan persoalan diskriminasi rasial. Mereka mulai tertarik melihat pengaruh globalisasi, kapitalisme dan ”state” pada kehidupan sehari-hari dan bagaimana perlawanan, siasat dan taktik orang-orang biasa dalam menyikapi itu.

Emma Baulch, antropolog dari Australia, tidak mudah terkecoh dengan usaha-usaha untuk mengeksotiskan kebudayaaan Bali. Dalam karyanya, Making Scenes; Reggae, Punk, and Death Metal in 1990s Bali, dia mulai menelusuri kegaduhan, kesemrawutan, hiruk-pikuk kemacetan Gang Poppies di Kuta. Pandangan Emma di tengah lalu lalang para surfer, wisatawan domestik, dan pedagang acung tersedot pada sebuah bar kecil yang menjadi tempat nongkrong pemuda lokal dengan rambut bergaya mohawk atau bercat warna-warni, beraksesori rantai, jaket penuh paku, dan sepatu bot. Bar ini bernama Twice Bar yang menjadi markas Superman is Dead dan tempat ”deep hangout” sang antropolog.

Teritori ini bukan sekadar tempat hedonis, tetapi bagi si peneliti juga sebuah site of cultural production yang selama ini dipandang sebelah mata oleh pengamat karena dianggap bukan bagian dari budaya ”adiluhung”. Di sini ada kreativitas, solidaritas, keakraban, interaksi, juga suasana informal seperti umumnya sebuah komunitas tradisional di Bali yang disebut sekeha. Bedanya, mereka sedang mencari bentuk lain dari ekspresi-ekspresi budaya yang telah ada, bukan terjebak pada wacana pelestarian seperti kesibukan aktivitas sekeha pertunjukan tradisional. Yang dipentaskan bukan pertunjukan mainstream barong dan rangda, melainkan musik impor yang diperkenalkan lewat print-capitalism, kaset, video, TV, dan majalah.

Bentuk perlawanan

Lewat buku ini Emma melihat, di balik ”ketertundukan” dan ”kepolosan” yang telah melekat pada diri orang Bali, ternyata bukan suatu yang mulus berjalan sepi-sepi saja tanpa ada gugatan. Ketika penguasa Orde Baru mulai keropos, protes tak lagi dilakukan secara kasak-kusuk dan sembunyi-sembunyi, tapi justru pada panggung terbuka yang disebut ”geger underground” yang waktu itu dianggap sebagai ranah yang ambigu antara butuh dan tak butuh izin. Ini menjadi ”anarkis yang dipestakan”, antara penonton dan yang ditonton menjadi satu kesatuan penggugat ”identitas arus utama” yang mereka anggap telah terkooptasi oleh pasar dan kuasa. Rezim kebapakan ini tak berdaya menjinakkan mereka yang ada pada wilayah ”liminalitas”, mereka adalah para ”remaja”, ”pemuda”, ”anak gaul”, ”anak borju”, dan ”cewek matre”. Untuk meng-etnografi-kan kerumitan, mereka perlu observasi dan partisipasi karena dunia kontemporer ini pada waktu itu belum dijamah oleh para baliolog.

Untuk melihat bentuk-bentuk perlawanan terhadap kekuasaan, terutama kuasa Orde Baru yang licik, diperlukan kecerdasan tersendiri. Seperti biasa, keroposnya kekuasaan rezim otoriter karena sang kuasa sendirilah yang sering ”tak sadar” memberikan celah-celah perlawanan. Rakyat di bawah tirani sekalipun kelihatan ”tunduk dan patuh”, namun mereka punya taktik dan siasat tersendiri karena mereka tahu kekuasaan yang berbedil kalau ditentang akan berakibat fatal. Cara terbaik adalah dengan pura- pura menerima kemudian mengunyahnya ketika sang kuasa lengah lalu dimuntahkan. Kalau di Bali disebut dengan istilahmerta matemahing wisia, perlawanan mengunyah tanpa menelan.

Para punker dan head banger di Bali mengonsumsi produk kapitalisme global yang diberikan lewat tayangan MTV, tapi pada saat yang sama menolak bukan dengan demo atau mogok makan, tapi melalui ”carnival kegaduhan” yang disebut ”total uyut”. Mereka memarodikan, mengejek, menjungkirbalikkan praktik- praktik rumusan manusia Bali yang ”sapta pesonik” karena telah menjadi ”wacana identitas yang dominan”—retorika ”Ajeg Bali” pada waktu itu belum sepopuler sekarang. Karya Emma memberi pelajaran bahwa pada era tahun ’90-an kaum muda penggemar pop culture di Indonesia tidak bisa lagi didepolitisasi menjadi ”massa mengambang”, tapi mereka sebuah ”tanda mengambang” yang harus disimak dengan saksama.

Yang menggelitik dari dunia underground ini, mereka mengkritik identitas yang dominan, yang dianggap tidak lagi otentik, namun mereka juga terjebak pada wacana yang sama, yaitu otentisitas diri mereka sendiri. Bergumul dengan persoalan tentang siapa yang paling punk dan siapa yang paling metal dengan barometer mayor atau label indie dan status fans mereka. Sudah menjadi cerita umum di kalangan mereka bahwa ”otentisitas” ke- punker-an atau ke-headbanger- an mereka digugat ketika mereka masuk label mayor, apalagi digemari oleh ”cewek matre”. Di sini otentisitas mereka dipertaruhkan, sudah dianggap terkontaminasi menjadi ”musik gaul” yang sell out. Ironisnya, sejarah reggae, yang identik dengan perlawanan terhadap kulit putih, di Bali pengagum rastavari ini tak diusik oleh rezim. Justru dipakai menarik pelancong kulit putih karena sekaligus memperkuat image ”tropikalitas” Bali.

Degung Santikarma Antropolog dari Bali

Posted in book club | Tagged: , , | 1 Comment